Ketika menjejakkan kakinya di Madinah, minimal ada lima hal yang dilakukan Rasulullah saw.
Pertama, membangun masjid.
Kedua, mengikat jalinan ukhuwah antara Anshar (penduduk asli Madinah) dan Muhajirin (pendatang dari Makkah).
Ketiga, mengadakan perjanjian dengan seluruh penduduk Madinah melalui Piagam Madinah.
Keempat, menguasai pasar.
Kelima, melaksanakan jihad fi sabilillah.Semua tindakan Rasulullah saw tersebut berkaitan erat dengan
kepentingan sesama kaum muslimin. Hanya poin ketiga yang secara khusus
berhubungan dengan orang di luar Islam, yaitu orang-orang Yahudi. Pada
poin ketiga ini, Rasulullah saw dan kaum Muslimin, terlibat ikatan
perjanjian dengan orang di luar Islam.
Perjanjian inilah yang paling sering digunakan sebagian kaum Muslimin
sebagai landasan toleransi dalam Islam. Menurut mereka, dalam
perjanjian itu nampak toleransi Rasulullah kepada orang-orang Yahudi.
Piagam Madinah adalah bukti pengakuan Rasulullah atas eksistensi orang
di luar Islam untuk hidup berdampingan dengan kaum muslimin dalam satu
wilayah.
Pemahaman ini jelas mesti diluruskan. Benar, bahwa kaum muslimin tak boleh memaksa orang lain untuk memeluk Islam. “
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),” (QS
al-Baqarah: 256). Namun, untuk menjadikan Piagam Madinah sebagai
pijakan utama atas pengakuan keberadaan non-Muslim di wilayah umat
Islam, jelas tak bisa dibenarkan. Sebab, peristiwa terjadinya
kesepakatan Rasulullah saw dan kaum Muslimin pada Piagam Madinah, tak
berdiri sendiri. Untuk menjadikan Piagam Madinah sebagai pijakan hukum,
perlu melihat peristiwa sebelum dan setelah piagam itu ditanda-tangani.
Jika kita renungkan lebih dalam, ada hubungan yang erat antara
kemenangan umat Islam di Badar dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah
menjadi semacam siasat Nabi saw untuk melegalkan dirinya dan kaum
Muslimin di Madinah. Dengan demikian, keberadaan mereka aman dan diakui.
Dengan demikian, Nabi saw bisa konsen menghadapi musuh di medan Badar
selama beberapa waktu hingga mereka merengkuh kemenangan.
Bersambung…